CIREBON, (PRLM).- Rakyat Cirebon mendukung sepenuhnya tradisi penetapan gubernur Yogyakarta yang merupakan salah satu ciri keistimewaan Yogyakarta. Melalui Forum Konsolidasi Rakyat untuk Indonesia (FKRI) dan Keraton Kasepuhan Cirebon, warga Cirebon menolak hasil sidang kabinet yang memutuskan gubernur dan wakil gubernur DIY dipilih melalui pemilu.
Dalam pernyataan sikapnya, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan P.R.A. Arief Natadipura dan Koordinator FKRI K.H. Maman Imanulhaq Faqieh menyatakan, sistem yang ada di Yogyakarta saat ini sudah merupakan kesepakatan bangsa yang sudah legal dan tidak perlu lagi dipertanyakan, bahkan DPR pun tidak berwenang untuk memaksakan kehendak.
Karenanya Arif meminta kepada pemerintah dan DPR untuk tidak memaksakan diri mengubah tradisi penetapan gubernur yang sudah dari dulu dianut Yogyakarta. "Keputusan rapat yang akan dituangkan dalam draf UU Keistimewaan Yogyakarta oleh pemerintah akan berdampak serius. Jangan sampai ada referendum yang mengancam keutuhan NKRI," kata kata Sultan Sepuh di Dalem Arum kompleks Keraton Kasepuhan Minggu (5/12).
Keraton dan FKRI bahkan menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk meminta maaf kepada rakyat Indonesia terutama rakyat Yogya atas pernyataanya yang dinilai kontraproduktif dan telah melupakan sejarah. Selain menuntut SBY meminta maaf, V Keraton Kasepuhan dan FKRI juga meminta SBY lebih arif dan cerdas dalam memberikan pernyataan.
"Presiden jangan lagi memberikan pernyataan yang sangat membingungkan, mengada-ada dan menyebarkan polemik yang kontraproduktif. Pernyataan Presiden sangat membahayakan karena bisa mengancam empat pilar kehidupan kebangsaan yakni UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI," kata Arief.
Dikatakan dia, sekalipun memiliki kerajaan, namun DIY tetap memiliki partai politik dan DPRD. Bahkan ada pula APBD yang disahkan oleh DPRD. Semua itu, menurut Arief, sudah menunjukkan sistem demokrasi yang berjalan dengan baik di Yogyakarta.
Menyinggung penetapan raja Keraton Yogyakarta sebagai seorang gubernur menurut Arif sudah merupakan hasil musyawarah dan mufakat bangsa yang dituangkan secara resmi dan legal dalam UU Keistimewaan Yogyakarta. "Semua sudah merupakan kesepakatan bangsa sejak dahulu. Apalagi sistem keistimewaan di Yogyakarta sudah sesuai dengan amanah Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah," ujar Arief yang mantan Ketua PAH I DPD RI.
Menurut Arief, pernyataan SBY soal monarkhi di Jogja merupakan fitnah yang sangat menyakitkan terutama bagi rakyat Jogja. "Rakyat Jogja sudah merasakan sikap Sultan yang tidak monarkhi dan tidak bersikap sebagai raja yang otoriter. Pernyataan ini jelas menyakiti rakyat Jogja, apalagi dilontarkan pada saat yang tidak tepat ketika rakyat Jogja tengah dirundung musibah bencana alam akibat meletusnya Gunung Merapi," kata Maman yang mendampingi Arief.
Menurut Arief, sebenarnya ada hal-hal lebih penting yang seharusnya menjadi fokus perhatian SBY di antaranya yakni kasus mafia pajak atau perlindungan TKI di luar negeri. "Saat ini pertanyaan penting yang rakyat pertanyakan adalah visi Presiden SBY dalam membawa bangsa Indonesia ke masa depan dalam konteks persaingan antarnegara di kawasan Asia Tenggara dan Asia di era globalisasi. Saat ini kami menilai, SBY hanya sibuk berputar-putar pada permasalahan internal yang hanya menguras energi, sementara bangsa-bangsa lain di kawasan Asia lainnya telah menikmati kemakmuran dari pembangunan yang berlandaskan visi mereka masing-masing," katanya. (A-92/A-26).***
sumber : http://www.pikiran-rakyat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar